MER-C

Kepada warga Bumi Lestari
Silahkan sharingkan di sini, informasi apapun yang sekiranya bermanfaat bagi sesama warga Bumi Lestari. Kirim ke alamat email berikut : ForumBumiLestari@gmail.com

Rabu, 21 Mei 2008

Mencari Jati Diri Orang Bekasi

BEKASIHERITAGE — Orang Bekasi adalah mereka yang sudah menetap lama maupun baru di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Namun untuk lebih menegaskan keberadaannya, mereka harus memiliki beberapa kriteria, diantaranya memiliki tanda bukti domisili berupa kartu tanda penduduk dan telah merasa sebagai orang Bekasi.

Definisi tersebut merupakan kesimpulan sementara yang mengemuka dalam dalam ngobrol budaya Komunitas Budaya Pangkalan Bambu di sekretariat Komunitas Budaya Pangkalan Bambu dan One Center (belakang Mega Bekasi Hypermall atau Giant), Margajaya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Sabtu, 12 Mei 2007 siang.

Ngobrol budaya kedua setelah pembentukannya pada Sabtu, 5 Mei 2007, itu dihadiri Penggagas Komunitas Budaya Pangkalan Bambu Ali Anwar dan Tulus Wijanarko, Ketua Dewan Kesenian Kota Bekasi (DKB) Ridwan Marhid, penulis Agus Wahid, Wakil Ketua DPRD Kota Bekasi Akhmad Saikhu, Wakil Sekretaris Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi Abdul Choir dan Ubaidillah, Ketua Komite Teater Bekasi Ikwal, Pendiri One Center dan pengusaha Engkus Prihatin, anggota One Center Alimuddin, wartawan Tempo Siswanto dan wartawan Indopos Zaenal Aripin.

Obrolan dibuka dengan pertanyaan Tulus--orang Solo yang telah menjadi warga Bekasi—tentang siapa sebeneranya orang Bekasi itu. Karena selama tinggal di Kota Bekasi dia menemukan warga Bekasi ada yang berbahasa betawi, namun di beberapa tempat ada yang berbahasa sunda. “Saya sendiri orang Jawa, tapi anak saya lahir di Bekasi dan merasa sebagai orang Bekasi,” kata Tulus.

Menurut Abdul Choir, definsi orang Bekasi masih dalam tahapan diskusi yang belum final. Bahkan di BKMB pun pengertian orang Bekasi mengalami pergeseran. Kalau pada awalnya orang Bekasi adalah mereka yang secara genetis atau turun-temurun tinggal di Bekasi, kemudian bergeser pada warga Bekasi yang memiliki garis keturunan Bekasi. “Seperti saya yang beristri orang sunda, sedangka anak saya merasa sebagai orang Bekasi,” ujar Choir.

Akhmad Saikhu mengemukakan, meski dirinya sebagai pendatang namun telah merasa sebagai orang Bekasi. “Ada garis Betawi dari Kampung Gudang Air di Jakarta Timur,” kata Saikhu. Agar definisi tersebut bisa terjawab, dia berharap ada penelitian dan penulisan buku tentang budaya dan adat istiadat Bekasi. “Kamus bahasa Bekasi yang dibuat Choir atau biografi KH Noer Alie yang dibuat Ali Anwar adalah contohnya,” ujar Saikhu.

Menurut Saikhu sebaiknya Bekasi meniru sejumlah daerah yang telah memiliki buku dan compact disc (CD) tentang profil daerahnya, sehingga memiliki jati diri dan dikenal orang lain dengan mudah. “Kalau ada orang bertanya tentang kata “danta”, dengan cepat terjawab melalui kamus yang termuat di dalam profil daerah,” kata Saikhu.

Ali Anwar mengatakan, sebenarnya Bekasi telah memiliki potensi peneliti untuk mewujudkan buku profil tentang Bekasi. Persoalannya adalah lemahnya kesadaran pemerintah daerah dan DPRD dalam memaknai sebuah penelitian dan penerbitan buku. “Saking tidak adanya bantuan dari pemerintah dan DPRD, saya merekam sumber terpaksa menggunakan kaset bekas,” kata Ali.

Kalaupun ada proyek penelitian, pemerintah lebih senang melihat outputnya ketimbang proses. “Sehingga sebuah penelitian yang seharus nya dengan dana Rp 300 juta menjadi hanya Rp 25 juta,” ujar Ali. Ironisnya, setelah diteliti, mereka mencetaknya hanya 20-100 buku. “Bagaimana bisa dibaca banyak orang kalau dicetak terbatas?,” kata Ali.

Mengenai bahasa orang Bekasi terbagi dalam beberapa bahasa, Ali menambahkan, karena secara sebagian Bekasi adalah bagian dari budaya Betawi, sedangkan sebagian lainnya berbudaya sunda. “Dari segi historis, sebelum 1950 Bekasi masuk dalam wilayah Jakarta yang berbudaya Betawi,” kata Ali.

Agus Wahid, pendatang yang telah menetap di Kota Bekasi, juga telah merasa menjadi orang Bekasi. “Anak-anak saya malah sudah menjadi orang Bekasi,” kata Agus. Soal lemahnya perhatian pemerintah terhadap penelitian dan penerbitan buku dinyatakan Agus sudah menjadi rahasia umum. “Meski begitu, jangan mundur, kita harus terus menulis,” kata Agus.

Ridwan Marhid mengatakan, secara budaya Bekasi lebih campur dari Cirebon. “Bekasi merupakan percampuran berbagai suku adat, heterogen,” kata Ridwan. Itu sebabnya pula yang membuat kesenian di Bekasi menjadi beragam. Persoalannya, kini telah terjadi pengecilan makna kesenian Bekasi yang bergam itu.

Sebagai contoh, “Di Jawa Barat, kesenian Bekasi dikatakan hanya Topeng,” kata Ridwan. Padahl masih ada empat kesenian khas Bekasi yang kini nyaris punah, diantaranya ujungan, wayang dundung, wayang klitik, dan tanjidor.

Di sisi lain, seni Topeng Bekasi malah lebih banyak dipakai Pemerintah DKI Jakarta, sehingga diklaim sebagai Topeng Betawi. “Padahal aslinya dari Tambun, Bekasi,” ujar Ridwan. Mengapa demikian? Karena Pemerintah Daerah Bekasi tidak memperhatikan kesenian asli daerahnya.

Agar kesenian yang nyaris punah tersebut bisa diselamatkan, Agus mengusulkan agar Dewan Kesenian Bekasi menjalin kerjasama dengan kalangan pengusaha dan insutri di Bekasi. “Mereka punya tanggung jawab melalui dana komunity depelopment,” ujar Agus. Selain itu, perlu dibuat compact disc yang kemudian dibagika kepada sejumlah kedutaan besar negara sahabat di Jakarta. “Mudah-mudahan bisa mendapat dana pembinaan dari mereka,” kata Agus.

Engkus Prihatin mengusulkan agar kesenian yang nyaris punah tersebut dipatenkan. “Kalau ada hak patennya, orang lain tisak bisa sembarangan memakai kesenian Bekasi,” ujar Engkus. Selain itu, para senimannya menej sedimikian rupa sehingga bisa hidup dari kesenian.

Ngobrol budaya ditutup dengan pembacaa puisi oleh Tulus. Puisi karya Tulus tersebut tentang gempa di Yogyakarta beberapa bulan lalu. “Karena belum punya puisi baru, maka untuk memulai tradisi baca puisi setiap ngobrol budaya, saya membacakan puisi tentang gempa Yogya”.***

Sumber: Bekasiheritage.multiply.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dompet Dhuafa